Sosialisasi Langkah Awal untuk Memperkenalkan REDD+ di Indonesia

IMG_0848

short course  Kerangka Hukum, Kebijakan dan Kontrak REDD+ di Indonesia

Untuk kedua kali, Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Indonesia menggelar pelatihan singkat yang terkait dengan isu perubahan iklim. Tema pelatihan ini adalah Kerangka Hukum, Kebijakan dan Kontrak REDD+ di Indonesia.   Pelatihan diselenggarakan selama dua hari di The Hills Hotel Bukittinggi, dari tanggal 14-15 Agustus 2014. Ada 23 atau peserta yang berasal dari Lembaga Pemerintah, Swasta, LSM, Akademia, dan individual yang terkait pelaksanaan implementasi REDD+ di Indonesia.

Harry Alexander SH., MH., LL.M selaku pengampu dari RCCC UI menjelaskan bawa tujuan dari pelatihan untuk

  1. memberikan pelatihan kerangka kebijakan dan kelembagaan pelaksanaan REDD+ di Indonesia.
  2. Memberikan pemahaman lansekap peraturan penyelenggaraan REDD+ dan mitigasi perubahan iklim khususnya di sector kehutanan di Indonesia
  3. Memberikan pemahaman pelibatan para pemangku kepentingan & pembagian keuntungan dari pelaksanaan REDD+
  4. Memberikan pemahaman teori dan praktek Kontrak “Sales and Purchase Agreement” pelaksanaan REDD+

Selain Harry Alexander SH., MH., LL.M yang memberikan materi-materi terkait soal hukum, hadir pula Prof. Dr. Afrizal, MA dari Universitas Andalas. Beliau menyampaikan soal “ Pemahaman terhadap Pelibatan Para Pemangku Kepentingan & Pembagian Keuntungan dari Pelaksanaan REDD+”

Continue reading

RFS Akui Hak Masyarakat Adat untuk Kelola Hutan

Bisnis.com, JAKARTA – Panduan The Rainforest Standard (RTS) menawarkan upaya alternatif dalam konservasi hutan dengan mengakui keberadaan masyarakat adat yang sudah tinggal lama di dalam maupun di kawasan sekitar hutan.

Lydia Napitupulu dari Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Indonesia mengatakan dalam upaya konservasi tersebut, harus ada pemetaan yang jelas lebih dahulu soal kepemilikan lahan.

Di antaranya adalah tentang pengakuan masyarakat yang memiliki sertifikat hukum maupun masyarakat yang sudah lama tinggal di sana.

RFS merupakan standar kredit karbon hutan yang terpadu yang menampung keadaan ekologi dan permintaan pasar karbon.

Panduan itu memadukan ke dalam standar tunggal semua persyaratan dan protokol untuk perhitungan karbon, dampak sosial budaya, sosial ekonomi serta hasil keanekaragaman hayati.

RFS juga merupakan hasil telaah Pusat Kajian Lingkungan, Ekonomi dan Masyarakat dari Universitas Columbia di Amerika Serikat.

“Jadi, pemetaan harus jelas lebih dahulu, misalnya komunitas yang tak punya dokumen legal, tetapi mereka sudah beranak pinak di sana. RFS mengakui hal tersebut,” kata Lydia dalam satu diskusi mengenai RFS pekan lalu di Jakarta.

Panduan itu juga memadukan manfaat dua arah antara penyedia karbon, dalam hal ini adalah masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, dan pembeli karbon. RFS juga bertujuan untuk melakukan konservasi hutan alam, keanekaragaman hayati, dan mata pencaharian berkelanjutan yang disediakan oleh hutan.

Lydia mengungkapkan kepentingan penyedia karbon maupun pembeli karbon akan ditulis secara detil dalam kontrak yang disepakati bersama. Dia mencontohkan masyarakat yang menginginkan fasilitas pendidikan maupun kesehatan dalam jangka waktu tertentu dinegosiasikan dengan upaya menjaga hutan dengan tak menebang hutan.

“Upaya pemantauan antara penerima manfaat pun diatur secara detil dalam kontrak, misalnya siapa yang akan mengawasinya,” kata Lydia. “Walaupun demikian, RFS juga sulit ketika diterapkan di wilayah dengan konflik lahan.”

RFS mensyaratkan bahwa pengurangan emisi karbon harus permanen untuk membenarkan pendapatan kredit. Pengurangan tersebut tak akan permanen kecuali jika manfaat ekonomi terbagi rata kepada semua pengguna dan pemilik hutan.  [Anugerah Perkasa|Bisnis Indonesia]

Sumber:http://industri.bisnis.com/read/20140106/99/195778/rfs-akui-hak-masyarakat-adat-untuk-kelola-hutan